Skip to main content

ARTI SEBUAH KEMENANGAN


“Sebentar lagi! Inilah saat yang sudah ditunggu-tunggu pemain dan juga pendukung London Merah!”.
“Presiden Asosiasi Sepakbola Eropa, Mike Goldwin, akan menyerahkan trofi Piala Champions yang sudah diidamkan kubu London Merah selama puluhan tahun!”
“Mike Goldwin sudah menyerahkan trofi Piala Champions kepada sang kapten, Luis Sanchez!”
“Sanchez mengangkat trofi tinggi-tinggi! Tergambar jelas raut kebahagiaan di wajah seluruh pemain The Bullets!”
“Lihat, bung Edwin. Rona sumringah manajer London Merah.”
“Itu sudah pasti, bung. Ini adalah trofi Piala Champions perdana untuk kubu The Bullets…”
.
.
.
“Akhirnya…”
Sebagai suporter London Merah, inilah momen yang kunanti-nantikan selama belasan tahun. Ejekan dan hinaan selama bertahun-tahun akhirnya terbayar lunas hari ini. Tidak akan ada lagi ejekan yang terpampang di akun parodi sepakbola.
Lega rasanya. Itulah perasaanku saat ini. Aku bisa masuk kerja dengan jemawa Senin depan.
Tapi… apa arti gelar juara ini untukku?
Apa hanya sebatas perasaan bahagia? Lega?
Itu saja? Hanya sebatas itukah?
Aku bukanlah penduduk kota London, aku hanyalah suporter dari belahan dunia lain.
Hanya dua kali. Hanya dua kali pernah kujejakkan kakiku di tanah London.
Aku tidak tahu arti gelar juara ini bagi penduduk London.
Tidak.
Aku bahkan tidak pernah merasakan nikmatnya gelar juara.
Aku tidak tahu apa arti kemenangan.
Aku pernah gagal. Sembilan tahun yang lalu.
Aku tinggal berhadapan satu lawan satu dengan kiper lawan di menit 117.
Tapi bola tidak pernah masuk ke gawang. Tendanganku tidak cukup licik untuk mengecoh si kiper. 
Bola berhasil diselamatkan dan skor masih imbang hingga adu penalti.
Tapi kami gagal. Kami gagal mengeksekusi 2 tendangan, sedangkan lawan selalu sempurna.
Kami kalah di final Liga Pelajar Daerah. Kesempatan lolos ke tingkat nasional yang sudah ada di depan mata pun harus buyar.
Sangat menyakitkan.
Tidak ada jalan bagi si juara 2. Tidak ada sama sekali.
Juara 2 tidak akan pernah diingat. Jadilah pemenang atau tidak sama sekali.
Tapi sudahlah… itu sudah lewat.
Meskipun aku ingin mengulangi momen itu, tapi itu hal yang mustahil.
Penyesalan memang selalu datang belakangan.
Kring!!

Kring!!

Kring!!
“Siapa telepon malam-malam begini? Mengganggu saja.”
“Hmm… Private number? Mungkin ulah orang iseng.”
Meskipun sudah kumatikan, ponselku lagi-lagi berdering.
Sudah 5 kali hal itu terus berulang.
Karena sebal, kuangkat saja panggilan tak dikenal itu. Biar saja pulsa orang ini habis.
.
.
“Apa kau punya penyesalan?” suara lelaki paruh baya terdengar dari ponselku.
.
.
“Ha? Siapa ini?”
“Jawab saja. Apa kau punya penyesalan?”
“Tentu saja punya. Tapi apa urusanmu?”
“Aku kau ingin memperbaiki kesalahanmu? Apa kau ingin mengulangi momen itu?”
Sial, lagi-lagi orang ini tidak menjawab pertanyaanku.
“Tentu saja! Tapi itu mustahil terjadi, kan?”
“Kalau kau memang ingin memperbaiki kesalahanmu, tekan tombol 0 di ponselmu. Kalau kau tidak mau, matikan saja panggilan ini. Hanya ada satu kesempatan, tentukan pilihanmu.”
“Ha? Ngomong apa sih kau ini?”
Aku tidak sempat berpanjang lebar.
Sudah tidak terdengar suara lagi dari ponselku, tapi panggilan ini belum terputus.
Apa maksudnya menekan tombol 0? 
Apa dia sedang mengerjaiku?
Jangan-jangan penipuan jenis baru?
Tapi apa salahnya hanya menekan tombol 0?
Mungkin tidak akan terjadi apapun.
Sepertinya aku sedang dikerjai, tapi tidak ada ruginya buatku.
.
Klik!
.
“Fokus ke bola! Lihat bolanya! Jangan pedulikan bek lawan!”
 .
Hei, di mana aku? 
Kenapa tiba-tiba aku berada di tengah kotak penalti?
Aku juga mendengarkan teriakan pelatih di pinggir lapangan.
“Mungkinkah ini?”
Mustahil! Aku sedang berada di final Liga Pelajar Daerah sembilan tahun yang lalu.
Waktu menunjukkan menit ke-114.
Saat ini adalah situasi tendangan bebas untuk tim kami.
Aku benar-benar kembali ke masa lalu (?)
Aku ingat persis kejadian ini. Tendangan kapten akan melenceng keluar lapangan. 
Peluang tendangan bebas yang dulu kami sia-siakan.
.
Boom!
 .
Bola benar-benar meninggalkan lapangan.
Tendangan gawang untuk tim lawan.
Aku ingat dengan jelas.
Waktu itu, serangan lawan berhasil kami gagalkan dan kami sukses membangun serangan balik. 
.
.
Tendangan gawang itu disambut oleh playmaker lawan.
Si playmaker mengirim umpan ke kawannya di sayap kiri.
Pemain sayap mereka sukses mengecoh bek kanan kami.
Kencang. Larinya benar-benar kencang.
Sejurus kemudian, dia melepaskan umpang lambung ke kotak penalti kami.
Sepertinya kami akan kebobolan dalam situasi ini.
Tapi… salah satu bek tengah kami sukses menghalau bola.
Oh, tidak!
Sapuan itu justru jatuh ke kaki lawan. Lawan dengan sigap melepaskan tendangan volley.
.
Boom!
.
Beruntung, lagi-lagi bek tengah kami sukses menghalau bola.
Bola pun dikirimnya kepada kawan kami di sayap kiri.
Serangan balik kilat kami dimulai.
Bola diumpan ke tengah, playmaker kami dengan sigap menerima dan berusaha mencari kawan.
Aku segera bersiap di posisiku.
Satu langkah di belakang bek lawan.
Aku harus mulai bergerak untuk bersiap menerima umpan terobosan. 
.
Boom!
.
Datanglah umpan terobosan itu ke arahku. 
Aku yang sudah siap sejak tadi, berhasil meninggalkan lawan dengan kecepatan kakiku.
Aku berhasil lolos sama seperti sembilan tahun yang lalu.
Momen menentukan itu akhirnya tiba.
Di depanku sudah ada kiper lawan yang siap menghadang lajuku.
Satu lawan satu.
.
.
Aku masih ingat dengan jelas.
Tendanganku yang tanggung akan dihadangnya dengan kaki kirinya. Bola berhasil ditangkapnya, serangan balik kami pun gagal.
.
.
Kali ini tidak boleh gagal.
Aku harus berpikir dengan cepat.
Ada celah. Aku melihat celah di antara kedua kakinya.
Itu dia!
 Tapi...
Aku tidak yakin apa kemampuanku saat ini masih sebagus sembilan tahun yang lalu.
Masih bisakah kakiku menerjemahkan keinginanku seperti dulu?
Tapi tidak ada pilihan lain.
Sukses atau gagal. Hanya itu.
Kutendang bola dengan tidak terlalu keras.
Si kiper nampak terkecoh dengan arah tendanganku.
Bola meluncur mulus di antara kedua kakinya.
.
.
Gol!
.
.
Aku berhasil!
Kawan-kawanku mendatangiku dengan girang.
Aku tidak tahu harus melakukan selebrasi seperti apa.
Aku hanya berdiri di tengah pelukan kawan-kawanku.
Kali ini aku tidak gagal.
Keunggulan 2-1 sukses kami pertahankan hingga akhir pertandingan.
Kami juara.
Ya, kami benar-benar juara. Kami lolos ke tingkat nasional.
.
.
.
Tapi…
Aku tidak merasakan apapun.
.
.
.
Bahagia. Puas. Lega. Terharu. Bangga. Jemawa.
Tidak ada. Aku tidak merasakan satupun dari perasaan itu.
Aku tidak merasakan apa-apa dari kemenangan ini.
Apa arti kemenangan ini?
Aku terdiam sejenak.
Aku berusaha untuk berpikir.
.
.
.
Benar juga.
Jadi ini tujuan orang itu mengembalikanku ke masa lalu.
Gelar juara ini tidak berarti apapun jika diraih dengan cara seperti ini.
Kemenangan ini tidak ada artinya.
Hambar.
Masa depan memang akan berubah setelah pertandingan ini.
Tapi… sia-sia saja mengubah masa lalu.
Sia-sia saja memperbaiki kesalahan yang sudah lewat.
Manisnya sudah hilang sembilan tahun yang lalu.
Manis itu pernah berubah menjadi pahit, tapi kini berubah menjadi hambar.
Berusaha mengubah rasa pahit menjadi manis adalah hal yang sia-sia.
Cara menghilangkan rasa pahit adalah dengan memakan sesuatu yang manis .
.
Benar.
.
Biarkanlah masa lalu itu berlalu.
Lakukan hal yang luar biasa di masa kini, agar penyesalan itu tertutupi dengan kebahagiaan.
Dengan begitu, masa depan kita menjadi lebih manis.
.
.
Ah, itu hanya tebakanku.
Mungkin saja orang itu punya maksud lain mengirimku ke masa lalu.
Siapa yang tahu? XD

Comments

Popular posts from this blog

Cinta dan Penyesalan (Bagian 2)

Risa Kirana Andriani. Dia adalah teman sekelasku semasa kuliahku dulu. Sudah lama aku tidak mendengar kabar darinya. Tahu-tahu sekarang dia sudah mau menikah bulan depan. Waktu memang berlalu cepat sekali. Bukan begitu... Risa bukanlah sekedar teman bagiku. Dia adalah wanita yang dulu pernah kucintai semasa kuliah. Dia adalah orang spesial yang pernah singgah di hatiku. Tidak, itu juga bukan... Mungkin, sampai sekarang aku masih mencintainya. Aku berkata ‘mungkin’ karena aku masih merasakan sesuatu saat mengetahui kabar tentang Risa setelah sekian lama tak bertemu. Terutama ketika aku tahu bahwa dia akan menikah. Itu membuatku sangat syok. *** “Pak, ini skrip yang tadi sudah selesai saya terjemahkan.” “Wah, kerjamu memang cepat. Terima kasih banyak ya, dek Alfa.” “Sama-sama, pak.” “Oh, sekarang sudah hampir jam 4, ya? Kamu boleh siap-siap pulang, deh. Toh, sudah tidak ada pekerjaan lagi dan kantornya sudah sepi dari tadi.” “Baik, pak. Saya permisi kalau

Wonderkid

My name is YH, 16 years old, professional footballer. I play as striker for a brand-new club in the first division, next year is gonna be our 3rd anniversary. I signed my professional contract when I was still 14 years old. That's why people started calling me wonderkid. They might be right. We won league in our first season. I do score, I do assist, sometimes score match-winning goals for the club. What an unforgettable season. Later, they choosed me as the Best Player of the Season. For a teenager, people say it's amazing. People started to make comparison. Next Pele, New Maradona, New Zidane, Next Messi, New Ronaldo, and so on, and so on. But, I don't deserve it, people should give the credit to our world-class manager. His experience in word-class competition takes us to another level. What a great manager we have. People should praise the other players too, without them we never won the league. Everyone has different role. They did excellent job on their respectiv